Sejak kasus Antasari Azhar, Cicak vs Buaya, revisi UU KPK, penarikan penyidik Polri dari KPK, sampai masalah kewenangan dalam pengusutan kasus Simulator SIM.
Menurut Hendardi dari SETARA Institute, baik KPK mau pun Polri, haruslah menahan diri untuk mengapitalisasi isu ketegangan antardua institusi yang sama-sama memiliki kewenangan (dengan batas-batas tertentu) melakukan pemberantasan korupsi itu.
“KPK secara baik telah berpolitik untuk memperkuat eksistensi kelembagaannya. Sedangkan Polri berpolitik (dengan upaya penangkapan salah satu penyidik KPK) dengan dalih penegakan hukum, meski dengan kasus yang sumir,” katanya.
“Adu kedigdayaan seperti yang terlihat pada ketegangan Jumat lalu, bukanlah cara tepat mengatasi persoalan, karena sebagai lembaga negara, mestinya bisa menempuh jalur komunikasi ketatanegaraan yang konstruktif,” kata Hendardi.
Ia melanjutkan, KPK harus diselamatkan dari setiap upaya pelemahan. Tetapi Polri juga harus dikawal dan dipantau agar menjalankan mandat sesuai UU. “Tekanan terus-menerus kepada Polri bisa menimbulkan demoralisasi kolektif pada aparat dan institusi Polri sebagai penegak hukum dan institusi keamanan,” katanya.
Dikemukakan, selain bersitegang dengan KPK, sesungguhnya Polri sedang mengalami tekanan dari pemerintah terkait dengan pembentukan RUU Keamanan Nasional, yang secara sistemik juga akan melumpuhkan wewenang Polri dalam penegakan hukum dan sebagai institusi yang bertugas menjaga keamanan nasional.
“Dalam situasi yang demikian, kepemimpinan SBY, baik dalam kapasitasnya sebagai kepala negara mau pun kepala pemerintahan diuji untuk mengakhiri ketegangan antardua lembaga. Pilihan cara yang ditempuh SBY akan mencerminkan seberapa besar kepemimpinan politik antikorupsi itu menjadi tekad diri dan kabinetnya,” katanya.