"Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Konstitusi, Mahfud MD, sat membacakan putusan di Mahkamah Konstitusi, Kamis (3/1/2013).
Permohonan ini diajukan oleh Debbi Agustio Pratama. Dia meminta agar MK menghapus ketentuan dalam Pasal 505 KUHP. Pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 34 UUD 1945.
Pasal 505 KUHP berbunyi: "Barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan." Ayat (2) merumuskan, "Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan".
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada larangan bagi setiap warga negara yang ingin menjadikan punk sebagai gaya hidup. "Yang dilarang oleh Pasal 505 KUHP adalah hidup bergelandang, karena bergelandangan merupakan perbuatan yang melanggar ketertiban umum," jelas Mahkamah.
Mahkamah menjelaskan, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah bergelandang berarti berjalan kesana-sini tidak tentu tujuannya, berkeliaran (untuk orang); bertualangan. "Perilaku yang demikian oleh pembentuk Undang-Undang dikategorikan sebagai perilaku yang mengganggu ketertiban umum," ujarnya.
Mengenai alasan pemohon yang menilai pemberlakuan Pasal 505 KUHP bertentangan dengan KUHP, Mahkamah berpendapat pelarangan
hidup bergelandangan merupakan soal yang tidak berkaitan dengan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
"Pelarangan hidup bergelandangan merupakan pembatasan yang menjadi kewenangan negara, sedangkan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar merupakan kewajiban konstitusional negara yang harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan negara," jelasnya.