Selama ini, masalah kecanduan seks masih menjadi perdebatan di kalangan medis. Gangguan hiperseksual masih dalam kajian untuk disertakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), suatu panduan dalam mendeteksi gangguan kejiwaan yang digunakan profesional di Amerika Serikat.
Para peneliti dari University of California Los Angeles Amerika Serikat dalam kajian terbarunya menyatakan bahwa tenaga kesehatan profesional dapat menggunakan gejala-gejala yang muncul dari kelainan hiperseksual untuk membedakan pasien ke dalam dua kelompok, yaitu mereka yang benar-benar mengalami gangguan dan mereka yang tidak terkena kelainan.
Peneliti menekankan, mereka tidak bermaksud memasukkan perilaku yang lumrah dilakukan banyak orang seperti hubungan seks yang sering atau menonton materi porno sebagai gangguan seksual. Tetapi, mereka ingin membantu pasien merasakan bagaimana cara mereka mengendalikan kebutuhan seks dan memuaskannya dengan mengabaikan konsekuensi atau efeksampingnya.
"Mereka mungkin mempertimbangkan konsekuensi itu sesaat, tetapi merasa kebutuhan akan seks lebih penting, dan memilih seks bahkan dalam situasi di mana pilihan tersebut akan menyebabkan masalah serius atau membahayakan seperi misalnya kehilangan pekerjaan, hubungan dengan pasangan atau kesulitan keuangan," ungkap Rory Reid, asisten profesor dan peneliti psikologi pada University of California, Los Angeles.
Para peneliti mendefinisikan gangguan hiperseksual sebagai berulangnya fantasi, hasrat dan perilaku seksual yang kuat yang timbul setidaknya dalam enam bulan terakhir. Fantasi, hasrat dan perilaku seksual ini harus memicu adanya tekanan/stres dan mengganggu sejumlah aspek kehidupan seperti pekerjaan dan hubungan personal pasien yang didiagnosa mengalami kelainan.
Riset terbaru ini dilakukan dengan metode wawancara terhadap 207 pasien yang dirujuk ke klinik kesehatan jiwa. Peneliti mengatakan, 152 pasien dirujuk karena masalah seksual, 20 pasien karena tindak kekerasan dan 35 pasien dirujuk karena kondisi kejiwaan lainnya.
Para peneliti menggunakan definisi kelainan hiperseks untuk mendiagnosa 134 pasien yang dirujuk karena problem seksual dengan adanya kelainan, dan mendiagnosa 18 pasien dengan kondisi kejiwaan lainnya atau pun tanpa kelainan. Menurut peneliti, para tenaga profesional telah menyetujui pasien mana yang didiagnosa mengalami kelainan hiperseks dari 92 persen kasus.
Dalam wawancara, dokter meminta pasien melaporkan perilaku yang paling mengganggu mereka seperti masturbasi, menonton materi porno, phonesex, cybersex. Kebanyakan pasien yang didiagnosa hipeseks mengatakan bahwa masturbasi dan menonton pornografi merupakan problem, dan beberapa di antaranya kehilangan pekerjaan karena tidak dapat menahan diri dari perilaku tersebut di tempat kerja.
Pasien lebih banyak melaporkan dirinya terlibat dalam perilaku tersebut setelah mencoba mengontrolnya dengan mengabaikan efek buruk pada fisik dan emosional baik bagi dirinya maupun orang lain.