Di samping itu, diskusi bertema Karena Pilihan Bukan Karena Peluang: Keluarga Berencana, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan memandang perlu mengembalikan kejayaan program keluarga berencana, dengan manajemen program yang tertata dari tahap perencanaan dan monitoring. Juga penyediaan pendanaan serta adanya blue print perlu kerjasama akademisi, pemerintah dan NGO.
Dalam diskusi hasil kerjasama BKKBN dan UNFPA, Prof. dr. Ascobat Gani MPH dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyatakan, program KB tidak hanya berfungsi untuk menekan jumlah kelahiran, tapi juga membentuk mutu modal, meningkat ekonomi.
"Negara Banglades, Afrika dulu banyak belajar dari kita. Namun setelah reformasi arahnya tidak jelas, seperti halnya posyandu. Program KB atau Posyandu dianggap jelek karena bagian program masa lalu," katanya.
Ia memandang perlunya komitmen masyarakat. Harus lebih ditingkatkan lagi memberikan pengertian KB ditransformsikan dalam arti keluarga kecil keluarga sejahtera. "Ada komitmen, dari media, NGo, jadi gerakan sosial," tuturnya.
Deputi bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan BKKBN Reproduksi dr Julianto Witjaksono, SpOG menyatakan kalau klaim benar setiap th 7-9 juta jadi peserta KB baru. "Tapi memang data statistik harus direview lagi,' tuturnya.
Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Ninuk Widyantoro menyatakan program KB tidak hanya berorentasi kuantitas (jumlah) saja tetapi harus balance, kualitas. "Yang saya rasakan saat ini kurang memonitor. Misalnya, sekarang ada yang menggunakan alat kontrasepsi, bisa jadi mereka berhenti tanpa memberikan laporan," tuturnya.