Bonus SMS gratisan sudah jadi sarana promosi hampir setiap operator seluler. Namun bukan berarti dengan itu Anda bisa sembarangan mengirim pesan singkat. Apalagi jika kontennya mengandung unsur mesum, penghinaan dan hal negatif lainnya.
Menurut Gatot S. Dewa Broto, Kepala Humas dan Pusat Informasi Kementerian Kominfo, publik masih banyak yang salah kaprah soal dokumen elektronik yang bisa dijadikan sebagai barang bukti di pengadilan.
“Dipikirnya dokumen elektronik itu email dan hal-hal yang muncul di internet. Padahal SMS juga termasuk, dan itu diatur di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” katanya.
Jadi misalkan ada seseorang mengirimkan SMS ke orang lain dan ia tidak suka karena isinya pencemaran nama baik, konten porno, atau hal terlarang lainnya, maka SMS tersebut bisa dijadikan barang bukti dan dilaporkan ke kepolisian. “Ini makanya harus hati-hati. Jangan sembarangan kirim SMS! Sebab yang diatur di UU ITE tidak hanya hal yang berada di internet, seperti email,” tegas Gatot.
Kisah SMS cabul yang berujung bui yang kini tengah dihadapi Saiful Dian Effendi. Kasus ini bermula saat pelaku yang merupakan mahasiswa di Madiun, Jawa Timur itu mengirimkan SMS berisi perkataan porno kepada beberapa nomor di ponselnya pada awal 2011. Semua yang dia kirimi adalah perempuan, salah satunya Adelian Ayu Septiana. Isi SMS seronok tersebut membuat Adel merasa risih dan dilecehkan. Apalagi SMS dikirim berkali-kali. Adel pun melaporkan hal ini ke polisi.
PN Madiun dan Pengadilan tinggi Surabaya menghukum Saiful dengan hukuman percobaan. Namun putusan ini dianulir Mahkamah Agung (MA) dengan menghukum 5 bulan penjara bagi Saiful.
Putusan ini dibuat pada 9 Agustus 2010 lalu ini diketok oleh ketua majelis Djoko Sarwoko dengan hakim anggota Komariah Emong Sapardjaja dan Surya Jaya. Kasus ini juga menjadi kasus SMS cabul pertama yang masuk MA dan dipidana.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendukung langkah Mahkamah Agung (MA) yang menghukum pelaku pengirim SMS cabul dengan hukuman 5 bulan penjara. Hal itu dianggap sebagai pelajaran yang pas. Gatot S. Dewa Broto, Kepala Humas dan Pusat Informasi Kementerian Kominfo mengatakan, pada intinya Kominfo tidak ingin menginterfensi keputusan yang sudah dibuat aparat penegak hukum. Termasuk dalam kasus SMS mesum yang menjerat Saiful Dian Effendi seorang mahasiswa di Madiun, Jawa Timur itu menggunakan pasal 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Penggunaan UU ITE di kasus tersebut sah-sah saja, karena memang dijelaskan. Jadi saya kira sudah cukup tepat dan ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua,”
Gatot menegaskan jika untuk urusan lalu lintas SMS, sulit rasanya untuk membebankan pemantauan konten kepada operator telekomunikasi. “Kalau operator dituntut untuk memelototi SMS itu mana tahan. Selain itu juga akan berbenturan dengan UU Hak Asasi Manusia,” imbuhnya. “Terlebih kalau lebaran ini, ada miliaran SMS yang lalu lalang. Jadi Kominfo pun tidak bisa meminta operator untuk memonitor konten SMS setiap saat. Itu malah akan melanggar HAM,” Gatot menegaskan.
Untuk kasus yang menjerat Saiful Dian Effendi sendiri bermula saat pelaku mengirimkan SMS berisi perkataan porno kepada beberapa nomor di ponselnya pada awal 2011. Semua yang dia kirimi adalah perempuan, salah satunya Adelian Ayu Septiana. Isi SMS seronok tersebut membuat Adel merasa risih dan dilecehkan. Apalagi SMS dikirim berkali-kali. Adel pun melaporkan hal ini ke polisi.
PN Madiun dan Pengadilan tinggi Surabaya menghukum Saiful dengan hukuman percobaan. Namun putusan ini dianulir MA dengan menghukum 5 bulan penjara bagi Saiful. Putusan ini dibuat pada 9 Agustus 2010 lalu ini diketok oleh ketua majelis Djoko Sarwoko dengan hakim anggota Komariah Emong Sapardjaja dan Surya Jaya. Kasus ini menjadi kasus SMS cabul pertama yang masuk MA dan dipidana.